Kopi dan Kakao: Bisnis yang Sensitif-Iklim di Tangan Organisasi Petani

Kopi dan Kakao: Bisnis yang Sensitif-Iklim di Tangan Organisasi Petani

16/06/2016

Kopi dan kakao adalah dua dari lima komoditi ekspor terbesar Indonesia setelah karet, kelapa sawit dan kelapa. Karenanya, komoditi ini menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Peran strategis ini berdampak besar bagi perekonomian masyarakat, yang melibatkan sekitar 1,96 juta KK petani kecil komoditi kopi dan 2,18 juta KK petani kecil kakao (BPS: Sensus Ekonomi 2013).

Sebagai komoditi pertanian, keduanya kini menghadapi tekanan perubahan iklim global. Terjadinya perubahan musim panen dan berkurangnya lahan yang sesuai untuk bertani kopi, juga penurunan volume produksi, dipastikan berdampak pada kekurangan pasokan bagi dunia, sementara konsumsi kopi dan kakao terus meningkat. Konsumsi kopi tahun 2015 tercatat meningkat menjadi 0.98 kg per individu per tahun (International Coffee Organization 2016). Sedangkan konsumsi kakao meningkat menjadi 0.5 kg per individu per tahun (Asosiasi Industri Kakao Indonesia 2016). Akibatnya, kedua komoditi ini selalu diperebutkan, baik di pasar domestik maupun internasional. Kabar baiknya, peningkatan konsumsi ini menumbuhkan industri hilir seperti pengolahan ataupun bahkan peracikan produk siap saji, yang telah menyerap sejumlah tenaga kerja.

Dalam upaya beradaptasi dengan tantangan perubahan iklim dan membuat komoditi yang lebih tahan terhadap tantangan ini, petani kecil membutuhkan pemahaman yang lebih baik mengenai iklim itu sendiri, ekosistem, dan metode-metode pertanian yang mengadopsi prinsip-prinsip agro-ekologi. Untuk mengatasi masalah ini, VECO Indonesia sejak 2014 telah mengadakan pelatihan lapangan tentang perubahan iklim dan pertanian berkelanjutan di beberapa lokasi. Dalam periode program 2014-2016, VECO Indonesia juga mengembangkan program yang mengedepankan ide bisnis inklusif yang secara khusus menyasar terjadinya perubahan pada level struktural dalam rantai nilainya, yaitu Sub-Sector Development (SSD) dan Inclusive Modern Market (IMM), untuk membantu memastikan keberlanjutan pasokan produk pertanian yang sesuai dengan kebutuhan pasar. SSD dan IMM menargetkan pasokan komoditi yang berkelanjutan dengan cara membangun kemitraan antara pembeli sektor swasta dengan organisasi-organisasi petani mitra VECO Indonesia.

Hingga tahun 2016, wilayah program tersebar di Provinsi Jambi (Kabupaten Kerinci), Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Tasikmalaya), Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Boyolali, Sragen, Karanganyar, Klaten, Sukoharjo dan Wonogiri), Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur, Enrekang dan Toraja Utara), Provinsi Sulawesi Barat (Kabupaten Polewali Mandar), Provinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Parigi Moutong dan Palu), dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Flores Timur, Sikka, Ende, Bajawa, Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat). Program ini telah berhasil mendorong peningkatan pendapatan petani kecil dan pada saat yang bersamaan turut berkontribusi dalam pengelolaan lingkungan produksi yang berkelanjutan dan memenuhi standar internasional dalam pengelolaan lingkungan dan ketenagakerjaan. Beberapa petani bahkan telah merasakan benefit dari produk-produk premium yang telah tersertifikasi.

Untuk mendukung pengembangan bisnis, sebuah MoU telah ditandatangani antara Bank Nusa Tenggara Timur dan VECO Indonesia pada Agustus 2014 lalu, yang menyatakan komitmen untuk meningkatkan penghasilan petani kopi, kakao dan beras di Flores, Nusa Tenggara Timur. Koperasi Serba Usaha (KSU) ASNIKOM bersama organisasi petani mitra VECO Indonesia lainnya telah mengakses implementasi paket pinjaman yang diluncurkan Bank NTT sejak Februari 2015. MoU ini secara efektif dikawal oleh Tim Kantor Lapangan Flores yang dipimpin oleh Henderikus A.M. Gego sebagai Area Manager. Kemitraan ini telah mengakses pinjaman senilai Rp 1,8 miliar untuk KSU ASNIKOM hingga periode April 2016. Angka tersebut dipastikan terus bertambah, mengingat KSU ASNIKOM juga mendapatkan sumber dana dari beberapa pihak swasta lainnya.

Dengan menargetkan konsumen langsung, KSU ASNIKOM di Manggarai Timur, Flores, dan juga KSU Masagena di Luwu Utara, Sulawesi, bahkan mengembangkan unit bisnis hilir. Sebuah kafe di wilayah Labuan Bajo, persis berada di depan Bandara Komodo, didirikan oleh KSU ASNIKOM bekerjasama dengan jaringan Kopi Mane. Sementara KSU Masagena memilih untuk berkolaborasi dengan produsen cokelat Calodo untuk mengembangkan bisnis mereka.

Dalam Rapat Lokal IMM tahun ini, yang diselenggarakan di Jakarta pada 8-9 Juni 2016, Dr. Soetanto Abdoellah, seorang peneliti senior dari Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute (ICCRI) mengingatkan bahwa bisnis hilir komoditi ini sebaiknya memperhitungkan tuntutan mutu dan kebersihan. Bermitra dengan pihak swasta dalam mengembangkannya merupakan pilihan tepat, seperti yang dicita-citakan program Model Kemitraan dan Mediasi (Motramed) yang dikembangkan oleh ICCRI pada 2005 lalu.

Rapat tersebut dihadiri oleh wakil-wakil dari VECO Indonesia, Cocoa Sustainability Partnership (CSP), Specialty Coffee Association of Indonesia (SCAI) dan Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI). Pertemuan ini ditujukan untuk turut membantu peningkatan keberhasilan pada level perubahan struktural, yang dicapai oleh Pilot Chains pada komoditi kopi dan kakao. [Teks dan foto oleh: Sapta M. Cakra, Value Chain Specialist VECO Indonesia]