Oleh: Albertus Sani Sogen—Sekretaris & Koordinator Program Kakao, KSU JANTAN, Maria Patrisia Wata Beribe—Cocoa Field Officer, VECO Indonesia, dan Nikolaus Salo—MCA Project Coordinator untuk Kakao, VECO Indonesia.
“Cara pandang lama di tingkat petani yang menganut prinsip panen di atas, panen di tengah dan panen di bawah nampaknya harus dievaluasi kembali. Menanam tanaman kakao, kemiri, kelapa dan tanaman buah-buahan seperti alpukat, rambutan, nangka dan lain-lain pada lahan yang sama (diversifikasi) tanpa memperhatikan pola tanam dan tingkat toleransi tanaman akan merugikan petani sendiri. Ini hutan. Bukan kebun kakao. Pantas produksi kakao kita masih rendah,” ungkap Diaz Alfi Agus Lukas, SST. dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian (BKP2) Kab. Flores Timur, dalam perjalanan pulang dari sebuah kebun Petani Kader di hamparan Ebak, Desa Leraboleng, Kecamatan Titehena pada 24 Agustus 2016.
Mencari Kunci
Sepotong opini hasil evaluasi dari pak tua yang biasa disapa Un Diaz itu diutarakan saat evaluasi dan penilaian kebun kakao dalam rangka Lomba Kader Kakao yang diadakan di Flores Timur pada 20-31 Agustus 2016. Dipicu oleh produksi kakao di Flores Timur yang rendah dan semakin berkurang sejak 2009 sampai 2014, KSU JANTAN—salah satu organisasi petani mitra VECO Indonesia di Flores Timur—tidak kemudian terperosok dalam putus asa, melainkan memilih untuk fokus dalam meningkatkan kapasitas petani kader atau key farmers agar dapat memberikan layanan teknis produksi kepada petani anggotanya melalui Praktek Pertanian Kakao yang baik. Lomba Kader Kakao menjadi salah satu momen konsolidasi dan berbagi cerita tentang praktek GAP (Good Agricultural Practices) yang sudah dilakukan dan membangun komitmen menjadi petani teladan.
Maka pernyataan Un Diaz tersebut muncul spontan karena memang rata-rata kebun kakao di hamparan ini tidak terawat. "Jangankan mengembangkan teknologi perbaikan genetik dengan sambung samping dan sambung pucuk, pemangkasan dan sanitasi pun tak pernah dilakukan. Buah busuk bergantungan di setiap pohon. Mau jadi apa? Pegang uang banyak kok tidak mau,” katanya menantang Sil Kelen, Yan Makin dan Bartol Koten, para petani kunci yang setia mendampingi Tim Juri menuruni Bukit Ebak menuju pemukiman Leraboleng. Selain Un Diaz, Tim Juri beranggotakan Frans W. Simboh, S.Pi. yang juga mewakili BKP2, Kaliktus Gege Larantukan, S.Hut. dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Flores Timur, dan Albertus S. Sogen, A.Md. yang merupakan Pelatih Inti (Core Trainer) KSU JANTAN.
Kalau Un Diaz bernada menantang, maka Bapak Frans atau Frengky—orang Manado Sulawesi Utara yang telah 35 tahun makan garam di Flores Timur—sedikit berpandangan positif. Istilah kerennya mengapresiasi praktek baik sebagai kekuatan yang telah ada saat ini. Beliau berpendapat, “Untuk bisa melakukan sebuah perubahan apalagi mengubah cara pandang petani, kita butuh waktu. Kita harus yakin bahwa perubahan bisa kita lakukan. Kuncinya, kerja nyata dan bukan hanya asal omong. Praktek baik yang telah dilakukan bapak muda Yohanes Pati Makin dan Bartolomeus Koten harus terus dilakukan dan jika perlu, disebarluarluaskan kepada petani yang lain.”
Bagai gayung bersambut, anggota Tim Juri termuda, yakni Kaliktus, tak mau tinggal diam. Baginya diam itu emas. Diam saja sudah emas. Apalagi bisa berkata-kata? Pasti emas permata hadiahnya. Sebagai perwakilan dari instansi yang paling akrab dengan kehutanan dan perkebunan, bapak muda ganteng yang biasa disapa Kal itu, mengambil jalan tengah. “Sebagai orang kehutanan saya senang dengan praktek pertanian yang lebih memperhatikan aspek konservasi seperti ini. Ini hutan kemiri dan kakao,” beliau berujar sambil tangannya menunjuk kebun kakao di kiri kanan jalan setapak. “Tapi sebagai orang perkebunan, saya kasihan dengan petani. Mau dapat apa kalau kondisi kebunnya seperti ini? Saya kira KSU JANTAN harus terus mendampingi Petani Kader dan jika perlu terus memperkuat kapasitas petani kunci agar lebih berfungsi.” Persis di ujung kampung, pada jalan menurun memasuki kampung, Tim Penilai tertua Un Diaz dengan kaki sedikit gemetar menimpali, “Kuncinya, ada di petani kunci.” Sontak Bapak Frengky, Kal dan Sil mengangguk tersenyum, tanda setuju.