Saatnya Meningkatkan Konsumsi Cokelat Dalam Negeri

Saatnya Meningkatkan Konsumsi Cokelat Dalam Negeri

18/09/2015

Dibandingkan dengan negara-negara di Asia, konsumsi cokelat masyarakat Indonesia masih lebih rendah. Oleh karen itu perlu upaya terus untuk meningkatkan produktivitas kakao dan konsumsi cokelat dalam negeri.

Menteri Perindustrian Saleh Husin menyampaikan fakta dan harapan itu ketika membuka peringatan Hari Kakao Indonesia ke-3 Kamis (17/9) kemarin di Yogyakarta. Hari Kakao Indonesia merupakan perayaan tiap tahun untuk memperkenalkan kakao dan cokelat sebagai komoditas penting bagi Indonesia.

Menurut Saleh, konsumsi kakao masyarakat Indonesia saat ini masih berkisar pada nagka 0,5 kg per kapita per tahun. Padahal di negara-negara seperti Singapura dan Malaysia, konsumsinya mencapai 1 kg per kapita per tahun. Bahkan di negara-negara Eropa hingga 8 kg per kapita per tahun.

“Untuk itu perlu gerakan seperti peringatan Hari Kakao Indonesia ini,” kata Saleh.

Makin tinggi tingkat konsumsi cokelat dalam negeri, maka makin besar pula kebutuhan kakao bagi perusahaan pembuat cokelat. Hal ini nantinya juga akan berdampak pula terhadap perbaikan dan kesejahteraan petani.

Dengan jumlah penduduk mencapai lebih dari 250 juta, Indonesia memang memiliki potensi pasar dalam negeri amat besar. Di sisi lain, negara ini pun menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Tiap tahun Indonesia memproduksi biji kakao sebesar 370 ribu ton.

Menteri Saleh menyatakan, sektor industri merupakan penggerak utrama perekonomian nasional. Sektor ini perlu dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah, pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri, meningkatkan ekspor, dan penyerapan tenaga kerja.

Salah satu upaya pemerintah untuk mengembangkan industri kakao adalah dengan program hilirisasi kakao. Sejak 2010, pemerintah memberlakukan bea keluar (BK) biji kakao. Menurut Saleh, pemberlakuan BK biji kakao ini telah berhasil mengurangi ekspor biji kakao dari 188,4 ribu ton pada tahun 2013 turun menjadi 63,3 ribu ton pada 2014.

Sebaliknya, ekspor kakao olahan justru meningkat dalam kurun waktu 2013 ke 2014. Pada 2013, ekspor kakao olahan Indonesia sebesar 196,3 ribu ton. Pada 2014, jumlahnya meningkat 23,3 persen menjadi 242,2 ribu ton.

Namun, Saleh melanjutkan, masih terdapat kenaikan impor biji kakao pada tahun 2014 menjadi 109,4 ribu ton dibandingkan tahun 2013 sebanyak 30,7 ribu ton. “Hal ini menunjukkan kekurangan bahan baku biji kakao di dalam negeri. Untuk itu perlu peningkatan produktivitas melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi tanaman kakao,” ujar Saleh.

Menteri Saleh menambahkan, masuknya beberapa investor di sektor kakao merupakan pertanda bahwa industri pengolahan kakao dalam negeri makin menarik. Hal ini perlu mendapat dukungan pihak terkait untuk penyediaan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia.

Industri kakao berperan penting dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Sektor ini memiliki keterkaitan luas dari hulu ke hilir. Sepanjang tahun 2014, devisa yang disumbangkan komoditas kakao mencapai 1,24 miliar dolar.

“Industri kakai memiliki potensi untuk terus ditingkatkan dengan berbagai macam produk turunan kakao bernilai tambah tinggi,” kata Saleh.

Peringatan Hari Kakao Indonesia ke-3 yang dipusatkan di Yogyakarta kali ini merupakan bagian dari upaya tersebut. Selama peringatan, berbagai pihak dalam industri kakao pun terlibat termasuk dalam pameran pada 17-20 September 2015.

VECO Indonesia yang bergabung dalam Cocoa Sustainable Partnership (CSP) turut hadir dalam pameran tersebut.