Seorang Perempuan, Seorang Petani, Seorang Pemimpin

Seorang Perempuan, Seorang Petani, Seorang Pemimpin

27/07/2016

Marselina Walu, atau biasa disapa Mama Lina, berhasil menyingkirkan citra stereotipikal pertanian Indonesia yang sebagian besar didominasi oleh laki-laki. Mama Lina bukan hanya seorang petani perempuan, tapi juga seorang pemimpin yang kini mengetuai sebuah koperasi kopi di Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Menjadi petani bukanlah profesi yang diimpikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika ditanya, kebanyakan petani akan berkata bahwa mereka menjadi petani bukan karena pilihan, melainkan karena keharusan. Semakin luar biasa lagi jika sang petani adalah seorang perempuan, apalagi perempuan yang mengelola pertaniannya sendiri. Pertanian Indonesia adalah dunia laki-laki. Meski secara tradisi perempuan selalu dilibatkan, namun perannya biasanya spesifik dan terbatas, sebatas membantu suaminya di sawah atau kebun. Mama Lina pun tidak punya rencana untuk menjadi petani. Tapi ketika ia mulai mengenal dunia pertanian, Mama Lina tak hanya menemukan panggilan hidupnya, tapi juga bakat alaminya sebagai seorang pemimpin.

Mama Lina awalnya sempat meninggalkan desanya dan merantau ke Labuan Bajo di pesisir barat Pulau Flores untuk bersekolah. Dia kemudian bekerja sebagai agen asuransi di perusahaan Asuransi Jiwasraya di Sumbawa Besar selama 1 tahun dan di Larantuka, Flores Timur, juga selama 1 tahun. Setelah itu Mama Lina kembali ke Labuan Bajo dan bekerja di perusahaan milik Jepang, yaitu PT. NTT Kuri Pearl yang bergerak di bidang budidaya mutiara. Setelah 2 tahun dia bekerja di sana, dari 1999 sampai 2001, Mama Lina memutuskan untuk kembali ke kampungnya dan saat itulah ia mulai menggeluti dunia pertanian.

Memang, masyarakat Bajawa dikenal sebagai salah satu dari hanya enam komunitas masyarakat di dunia yang menganut budaya matrilineal, yang artinya adat dan sistem kekerabatannya diatur melalui alur keturunan dari pihak ibu. Berdasarkan aturan adat itulah, Mama Lina mendapatkan warisan tanah dan kebun di wilayah Wajamala dari orangtuanya. Bersama teman-temannya para petani yang juga memiliki tanah di wilayah tersebut, Mama Lina mulai bertani kopi.

Bakat Kepemimpinan Alami

Hanya setahun kemudian, bakat alaminya sebagai pemimpin mulai terlihat. Sepak terjang Mama Lina membuatnya dipercaya untuk menjadi kader desa pada periode 2002-2004. Lalu di tahun 2005, Mama Lina pun ditarik menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di desa tempat tinggalnya, Desa Radabata.

Pada tahun 2007, Desa Radabata mengadakan proyek kerja sama dengan Dinas Perkebunan Ngada untuk pengembangan tanaman kopi di wilayah Wajamala. Mama Lina dengan cepat melihat proyek itu sebagai peluang untuk belajar, untuk maju, dan untuk berkembang. Bersama beberapa temannya, Mama Lina pun membentuk sebuah kelompok tani bernama Poma Taka, demi menangkap peluang tersebut.

Beberapa tahun kemudian, proyek itu berakhir. Poma Taka lalu berubah bentuk menjadi kelompok Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) yang diberi nama Berdikari. Namun kebun kopi para anggotanya yang ditanam pada masa proyek menjadi tidak terawat. Keadaan kebun kopi di Flores secara keseluruhan memang umumnya lebih tepat disebut “hutan kopi”, karena tanamannya dibiarkan menjulang tinggi dan tidak pernah dirawat. Begitu pulalah nasib kebun-kebun kopi milik mama Lina dan teman-teman anggota kelompoknya.

Awal tahun 2013, dua organisasi yang memiliki program pendampingan masyarakat, yaitu Lembaga Advokasi Perlindungan Masyarakat Sipil (Lapmas) dan Perkumpulan Masyarakat Perlindungan Watuata (Permata), melakukan perluasan wilayah dampingan ke desa-desa potensi kopi, salah satu desa adalah Desa Radabata. Program ini memberikan pelatihan-pelatihan dalam format Sekolah Lapangan (SL). Karena program ini berazaskan pendekatan kelompok, UBSP Berdikari terpilih menjadi salah satu kelas di SL.

Selama tiga bulan, para anggota UBSP Berdikari dibekali materi dan praktek, di mana Mama Lina dan teman-temannya belajar mengenai perawatan tanaman kopi, pengembangan budidaya kopi, sampai pengolahan kopi sesuai standar operasional untuk kopi ekspor. Kebun-kebun mereka mulai dirawat dengan baik dan mulai menampakkan produksi yang baik pula. UBSP Berdikari lantas mendirikan Unit Pengelolaan Hasil (UPH) Berdikari. Hasil produksinya saat itu masih sedikit, maka mereka menjualnya melalui Permata.

Berjuang Meningkatkan Posisi Tawar Petani

Tahun 2014, UBSP Berdikari berubah bentuk lagi menjadi Koperasi Primer Kagho Masa yang diketuai oleh Mama Lina. Di tahun yang sama, sampel kopi dari UPH Berdikari dikirim ke Jakarta untuk mengikuti Lelang Nasional dan terpilih sebagai salah satu kopi yang layak untuk dilelang. Mama Lina pun diutus untuk mengikuti acara tersebut, sekaligus melakukan lobby dengan pengusaha. Hasilnya, kopi Bajawa laku terjual dengan harga Rp. 60.000/kg!

Mama Lina semakin gencar mempromosikan kopi Bajawa produksi Koperasi Primer Kagho Masa. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani kopi, Mama Lina tak segan mendorong dan membimbing anggotanya. Mama Lina juga melebarkan sayapnya ke desa tetangga untuk terlibat dalam kegiatan sekolah lapangan. Koperasi Primer Kagho Masa kini mampu memproduksi kopi sesuai standar ‘specialty coffee’. Produknya semakin dikenal di kalangan para pecinta kopi di Jakarta, Pulau Jawa, Sumatera dan Bali. Selain memasok kopi ke PT. Indokom, kopi hasil para anggota koperasi ini mulai dilirik para pengusaha kafe dan dipesan oleh kafe-kafe di kota-kota besar. Koperasi Primer Kagho Masa menjadi salah satu koperasi yang menyumbangkan kopi untuk dipasarkan bersama dalam jumlah yang cukup besar. Pencapaian besar terukir saat sampel kopi dari Koperasi Primer Kagho Masa lolos seleksi untuk mengikuti lelang tingkat dunia dalam ajang SCAA (Specialty Coffee Association of America) Expo pada 13-17 April 2016 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat.

Jadi Orang yang Diperhitungkan

Semua prestasi ini merupakan hasil kerja keras seluruh anggota koperasi, namun tentunya tidak lepas dari tangguhnya kepemimpinan Mama Lina. Di usianya yang baru menginjak 37 tahun, perempuan ini tidak pernah menyerah walau menghadapi banyak tantangan dari anggota kelompok yang sebagian besar adalah laki-laki dan sebagian masyarakat yang kerap memandang sebelah mata. Dia teguh berjuang demi kesejahteraan anggota koperasinya, serta terus berupaya memberdayakan kaum perempuan di desanya agar menjadi orang yang bisa diperhitungkan. Hasilnya, kini ada 5 orang kader pelatih perempuan selain Mama Lina yang tergabung dalam Koperasi Primer Kagho Masa. Keahlian mereka bahkan sudah mulai dipakai di wilayah lain, baik oleh koperasi lainnya maupun oleh kantor-kantor dinas setempat, dan kebun-kebun mereka sering digunakan sebagai kebun belajar.

Di balik semua peran itu, Mama Lina adalah orangtua tunggal bagi satu orang putranya. Seorang ibu. Seorang perempuan biasa. Namun tekad dan kerja kerasnya yang luar biasa telah menjadikannya satu-satunya ketua koperasi primer perempuan dengan kemampuan yang diperhitungkan. Mama Lina juga tak pernah berhenti belajar. Dia selalu bersemangat mengikuti pelatihan, kunjungan belajar, dan beragam pertemuan. Selain itu, Mama Lina juga telah memiliki kualifikasi sebagai Q Grader, sebuah kualifikasi untuk melakukan penilaian obyektif terhadap kualitas kopi.

Seorang perempuan, seorang petani, dan seorang pemimpin. Semoga kehadiran Mama Lina dapat menginspirasi Lina-Lina yang lain untuk turut berjuang di bidangnya masing-masing, demi mengangkat derajat kaum perempuan sehingga mampu disejajarkan dengan laki-laki. [Oleh: Fransisca Rengo, Field Officer VECO Indonesia untuk Kopi Flores]