Marselina Walu, atau biasa disapa Mama Lina, berhasil menyingkirkan citra stereotipikal pertanian Indonesia yang sebagian besar didominasi oleh laki-laki. Mama Lina bukan hanya seorang petani perempuan, tapi juga seorang pemimpin yang kini mengetuai sebuah koperasi kopi di Bajawa, Kabupaten Ngada, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Menjadi petani bukanlah profesi yang diimpikan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Jika ditanya, kebanyakan petani akan berkata bahwa mereka menjadi petani bukan karena pilihan, melainkan karena keharusan. Semakin luar biasa lagi jika sang petani adalah seorang perempuan, apalagi perempuan yang mengelola pertaniannya sendiri. Pertanian Indonesia adalah dunia laki-laki. Meski secara tradisi perempuan selalu dilibatkan, namun perannya biasanya spesifik dan terbatas, sebatas membantu suaminya di sawah atau kebun. Mama Lina pun tidak punya rencana untuk menjadi petani. Tapi ketika ia mulai mengenal dunia pertanian, Mama Lina tak hanya menemukan panggilan hidupnya, tapi juga bakat alaminya sebagai seorang pemimpin.
Mama Lina awalnya sempat meninggalkan desanya dan merantau ke Labuan Bajo di pesisir barat Pulau Flores untuk bersekolah. Dia kemudian bekerja sebagai agen asuransi di perusahaan Asuransi Jiwasraya di Sumbawa Besar selama 1 tahun dan di Larantuka, Flores Timur, juga selama 1 tahun. Setelah itu Mama Lina kembali ke Labuan Bajo dan bekerja di perusahaan milik Jepang, yaitu PT. NTT Kuri Pearl yang bergerak di bidang budidaya mutiara. Setelah 2 tahun dia bekerja di sana, dari 1999 sampai 2001, Mama Lina memutuskan untuk kembali ke kampungnya dan saat itulah ia mulai menggeluti dunia pertanian.
Memang, masyarakat Bajawa dikenal sebagai salah satu dari hanya enam komunitas masyarakat di dunia yang menganut budaya matrilineal, yang artinya adat dan sistem kekerabatannya diatur melalui alur keturunan dari pihak ibu. Berdasarkan aturan adat itulah, Mama Lina mendapatkan warisan tanah dan kebun di wilayah Wajamala dari orangtuanya. Bersama teman-temannya para petani yang juga memiliki tanah di wilayah tersebut, Mama Lina mulai bertani kopi.