Petani padi dari beberapa wilayah mendeklarasikan berdirinya Asosiasi Masyarakat Tani Padi Indonesia (Amartapadi).
Sekitar 30 petani padi tersebut berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Mereka berkumpul di Desa Cermo, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah pertengahan September lalu. Deklarasi tersebut dihadiri petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani, maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Sebelum mendeklarasikan Amartapadi, selama dua hari petani terlebih dulu membahas situasi terkini petani padi Indonesia. Ketua Amartapadi Catur Budi Setyo mengatakan saat ini petani padi sebagai produsen pangan belum mendapatkan kesejahteraan. Di sisi lain pemerintah justru terus mengimpor beras meskipun petani sedang panen raya.
“Ini ironi, selama lima tahun terakhir pemerintah masih impor beras padahal petani sedang panen raya,” ujar Catur. Dia menambahkan dari kuota impor beras sebesar 500 ribu ton, Badan Urusan Logistik (Bulog) malah baru merealisasikan 50 ribu ton.
Selain itu petani juga masih menghadapi tantang klise yaitu kurangnya akses terhadap sarana produksi seperti benih dan pupuk. Petani juga susah mengakses modal usaha budi daya maupun bisnis pertanian.
Akibatnya petani seringkali merugi karena ongkos produksi lebih tinggi dari hasil produksi padi. Imbasnya, saat ini banyak petani pindah ke sektor lain. Selama 10 tahun terakhir ini sekitar 58.400 rumah tangga petani beralih profesi.
Slamet Nur Hadi dari Aliansi Petani Indonesia (API) menguatkan pernyataan Catur tersebut. Menurut Nur Hadi, salah satu masalah yang dihadapi petani padi Indonesia saat ini adalah ketidakjelasan dalam pemasaran. “Tiga tahun terakhir, advokasi API adalah untuk mendorong adanya HPP (harga pembelian pokok) multikualitas, misalnya berdasarkan jenis beras atau lokasinya,” kata Nur Hadi.
Ketika petani menghadapi sejumlah tantangan tersebut, sebenarnya peluang pasar untuk beras lokal termasuk tinggi. Mengutip riset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Nur Hadi menyampaikan bahwa ritel-ritel modern sangat potensial untuk menyerap beras lokal. Ini sesuai dengan prinsip bisnis inklusif. “Pihak ritel justru senang berbisnis dengan petani langsung karena bisa memotong rantai distribusi,” ujarnya.
Lahirnya Amartapadi diharapkan bisa menjembatani hubungan langsung petani padi dengan pengusaha maupun pemerintah. “Harapannya asoiasi ini memiliki posisi tawar terhadap berbagai kebijkana padi nasional,” Nur Hadi menambahkan.
Ke depan, Amartapadi juga akan berperan untuk memfasilitasi petani dalam pemasaran bersama dan Internal Control System (ICS). Sebagai asosiasi, Amartapadi bisa langsung berhubungan dengan organisasi seperti Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo).
Untuk itulah asosiasi ini juga akan melebarkan keanggotaannya tak hanya di Jawa tapi juga daerah lain.