Indonesia Menuju Negeri Kopi

Indonesia Menuju Negeri Kopi

25/07/2015

Dulu kala, Nusantara dikenal sebagai "Negeri Rempah-rempah". Komoditas dari beberapa pulau dikenal oleh berbagai bangsa di dunia. Mereka mencari dan berdagang lada, merica, cengkeh, dan lain-lain di Nusantara. Kini, kita perlu mencari menjadi identitas baru negeri ini yang sekaligus menjadi penggerak ekonomi.

Era rempah boleh dibilang sudah selesai. Meski masih banyak dikonsumsi, komoditas itu harganya semakin murah. Produk-produk sintetis bisa menggantikan sejumlah rempah. Pengembangan produk ini relatif tidak berubah alias tetap menjadi produk dasar atau tanpa pengolahan. Harga rempah-rempah juga kurang menarik bagi petani.

Sepertinya kini adalah era kopi. Kita bisa menemukan kopi di berbagai tempat mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Flores, Sulawesi, hingga Papua. Inilah salah satu kekayaan kita. Saat ini, dengan produksi mencapai 9 juta karung, satu karung berisi 60 kilogram, Indonesia menduduki peringkat nomor tiga di dunia. Indonesia kalah dengan Brasil dan Vietnam.

Meski Indonesia kalah dalam jumlah produksi, kita memiliki keragaman. Keragaman pertama adalah dua jenis kopi, yaitu kopi arabika dan robusta. Keragaman kedua adalah jenis kopi arabika. Di dalam kopi ini terdapat kopi kelas dunia, mulai dari kopi gayo, kopi mandailing, kopi jawa, kopi bali, kopi flores, kopi toraja, dan kopi wamena. Belum lagi berbagai kopi khas daerah yang selama ini belum menonjol. Cara produksi kopi juga terdiri dari dua macam, yaitu kopi biasa dan kopi luwak.

Gaya hidup berkopi juga makin marak. Kafe-kafe tak hanya ditemukan di kota besar, tetapi juga di kota kecil. Kopi telah memunculkan bisnis berbagai ukuran, dari mulai bisnis besar hingga bisnis kecil. Dalam gaya berkopi, Indonesia juga memiliki cara membuat minuman kopi yang khas, yaitu kopi tubruk. Cara minum ini sudah sangat lama dikenal di kalangan peminum kopi.

Kita juga memiliki sejarah kopi yang berbeda dengan negara-negara lain. Masuknya kopi di negara lain adalah karena penjajahan. Di Indonesia, masuknya kopi kemungkinan jauh sebelum penjajahan, yaitu ketika era Kesultanan Aceh. Kita bisa menemukan mitos tentang kopi di suku Gayo. Di Sumatera Barat, kita juga bisa menemukan kisah kopi yang kemungkinan dibawa oleh orang-orang yang pulang dari naik haji ke Arab.

Ekosistem kopi secara perlahan mulai terbentuk. Meski sebagian kopi masih banyak diekspor, permintaan dalam negeri juga naik. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari sejumlah pemilik kafe yang kini mendatangi para petani untuk mendapatkan biji kopi. Selama ini, petani sudah terikat kontrak dengan pedagang besar. Pedagang besar inilah yang selama ini banyak memasok ke pasar internasional.

Modal pembentukan ekosistem kopi sebenarnya sudah cukup besar, yaitu minat masyarakat untuk minum kopi makin besar. Dengan permintaan yang besar, maka kafe makin tumbuh. Kafe yang tumbuh akan menaikkan permintaan kopi. Tentu saja ekosistem ini belum cukup, kita juga membutuhkan festival kopi, sejarawan kopi, penulis kopi, juru uji kopi, pencicip kopi, dan lain-lain yang sangat andal.

Di luar itu sepertinya pemerintah perlu memikirkan pembentukan citra Indonesia sebagai negeri kopi. Pembentukan citra ini, ditunjang promosi yang kuat, akan menguntungkan kita, karena akan menaikkan kunjungan wisata. Hal ini tidak berbeda dengan Belanda yang dikenal dengan "Negeri Tulip", Kosta Rika yang dikenal dengan "Negeri Pisang", dan Selandia Baru yang dikenal dengan "Negeri Kiwi". (ANDREAS MARYOTO)

Sumber Kompas Cetak edisi 24 Juli 2015 dengan sedikit perubahan pada judul.