Kakao dan Cokelat di Indonesia

Kakao dan Cokelat di Indonesia

08/06/2015

Indonesia memenuhi syarat penting sebagai pasar barang konsumsi. Syarat itu antara lain jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta orang, masyarakat kelas menengah yang terus bertambah, dan gaya hidup yang cenderung meningkat.

Tak pelak produsen barang konsumsi memburu Indonesia sebagai pasar. Berbagai merek asing tersedia di pusat perbelanjaan di kota-kota besar di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada triwulan I-2015 surut menjadi 4,7 persen, ternyata masih mampu menjadi magnet bagi produsen barang konsumsi.

Produsen cokelat juga melihat Indonesia sebagai pasar yang strategis. Indonesia, bersama-sama India dan Tiongkok, merupakan negara-negara di Asia Pasifik dengan konsumsi cokelat yang semakin meningkat.

Pada 2014, negara dengan konsumsi cokelat terbanyak adalah Swiss sebanyak 9,2 kilogram (kg) per orang. Dalam daftar yang bersumber dari Euromonitor itu, Tiongkok berada di posisi ke-30 dengan konsumsi 0,2 kg per orang. Indonesia tidak ada dalam daftar 30 negara tersebut. Meski demikian, Euromonitor juga memprediksi konsumsi cokelat Indonesia akan meningkat rata-rata 5 persen pada kurun waktu 2014-2019.

Perusahaan penghasil cokelat dan bahan dasar cokelat yang berkantor pusat di Swiss, Barry Callebaut, bahkan lebih optimistis. Mereka memperkirakan, pertumbuhan konsumsi cokelat di Indonesia akan meningkat 15 persen dalam beberapa tahun mendatang.

Secara khusus, Barry Callebaut melihat kondisi pasar di Indonesia sangat menantang. Sebab, ada berbagai produk cokelat yang masuk ke pasar ritel di Indonesia. Harganya pun beragam, mulai dari yang sangat murah dan dijual eceran hingga cokelat premium yang harganya cukup mahal.

Namun, ada kekhawatiran yang menyertai prediksi meningkatnya konsumsi cokelat di Asia Pasifik pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Kekhawatiran itu terkait keterbatasan pasokan kakao dunia.

Saat ini ada tiga negara pemasok utama kakao di dunia, yakni Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia. Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, memproduksi 740.510 ton kakao pada 2012. Namun, produksi kakao Indonesia anjlok menjadi 720.860 ton pada 2013 dan 709.330 ton pada 2014.

Merosotnya produksi kakao Indonesia ini turut membenarkan kekhawatiran mengenai pasokan kakao dunia yang kian terbatas. Diduga penyebabnya beragam, antara lain luas lahan kakao yang berkurang dan usia pohon kakao yang semakin tua sehingga menurunkan produktivitas.

Padahal, kakao yang dihasilkan Indonesia merupakan salah satu kakao dengan kualitas baik. Saat ini harga kakao berkisar 3.000 dollar AS per ton.

Jika luas lahan tanam kakao tak mungkin ditambah, tidak ada jalan lain, produktivitas harus ditingkatkan. Dengan produktivitas yang tinggi, petani kakao akan mendapatkan nilai tambah yang optimal dari kakao.

Selain itu, perlu juga didorong agar perusahaan membuat pabrik pengolah kakao di Indonesia. Dengan demikian, perusahaan itu dapat mengakomodasi pertumbuhan konsumsi kakao di Indonesia sekaligus memperpendek rantai perjalanan kakao dari hasil tanam di Indonesia ke proses produksi.

Jika hal itu terealisasi, posisi Indonesia tak sekadar pasar konsumsi cokelat. Namun, Indonesia juga terlibat sebagai penghasil kakao sekaligus lokasi pembuatan cokelat di dunia. (DEWI INDRIASTUTI)

Sumber Kompas Cetak edisi Jumat, 5 Juni 2015