LONTAR Edisi #6 tentang Sekolah Lapang Petani

LONTAR Edisi #6 tentang Sekolah Lapang Petani

01/05/2013

Beritahu aku, aku lupa. Tunjukkan aku, aku ingat. Libatkan aku, aku mengerti. Pepatah Cina ini tepat sekali untuk menggambarkan prinsip utama dalam Sekolah Lapang (SL). Dalam metode ini, petani tak hanya diberi tahu teori di dalam kelas tapi juga ditunjukkan melalui praktik dan pengamatan langsung di lapangan.

Para petani tersebut layaknya pelajar atau mahasiswa ketika kuliah atau bahkan lebih dari itu. Semua terlihat bergairah ketika bekerja bersama-sama. Kami melihatnya di Mbay, Nagekeo maupun di Bajawa dan Golewa, Ngada. Dengan metode itu, maka petani lebih bisa menerapkan apa yang mereka pelajari di dalam kelas.

Pengertian kelas pun tak berarti secara fisik tapi lebih pada fungsi. Kelas tak melulu berada di dalam ruangan tapi juga bisa di halaman rumah, kebun, sawah, dan seterusnya. Kelas SL bisa di mana saja.

Ketika dimulai pada tahun 1989 di Indonesia, SL didesain untuk belajar tentang pengelolaan hama terpadu. Namun, saat ini SL justru dilakukan pula untuk belajar tak hanya pengendalian hama tapi juga pengolahan pascapanen. Perintis metode SL adalah Badan Pertanian dan Pangan PBB, FAO. Hingga kini, sudah ada lebih dari dua juta petani di Asia yang menerapkan metode SL ini.

Keunggulan SL adalah karena sistem belajar ini menjadikan semua peserta, yang semuanya adalah petani, sekaligus sebagai guru. Dengan metode ini, maka SL telah mengembalikan pengetahuan petani kepada petani itu sendiri. Inilah alasan kenapa SL harus terus didukung. Petani harus menerapkan pengetahuan mereka sendiri bukan hanya dengan menerima pengetahuan dari luar yang kadang justru membuat mereka melupakan sistem pertaniannya sendiri.

SL menjadi tema utama LONTAR Edisi #6 April 2013. Untuk artikel lebih lengkap dan berita-berita lainnya, silakan baca di versi online LONTAR atau unduh versi pdfnya.

Download Lontar #6