Lembaga pembangunan internasional di Nusa Tenggara Timur (NTT) sepakat meningkatkan koordinasi dan sinergi dengan Pemerintah Provinsi NTT.
Kesepakatan tersebut tercapai dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Mitra Pembangunan Lembaga Internasional Provinsi NTT. Rakor diadakan pada 12-13 Maret 2015 di Aula Utama El Tari Kupang. VECO Indonesia sebagai salah satu lembaga pembangunan internasional yang bekerja di NTT turut hadir dalam rakor tersebut.
Sebagai hasil rakor, para peserta menyapakati enam hal. Pertama, meningkatkan koordinasi antara lembaga mitra pembangunan dan pemerintah Provinsi NTT. Koordinasi ini difasilitasi Sekretariat Terpadu Kerja Sama Pembangunan Lembaga Internasional (SPADU – KPLI) bersama bidang-bidang kerja pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Kedua, mengintegrasikan perencanaan dan penganggaran program pembangunan lembaga mitra dengan berbasis desa/kelurahan. Ketiga, mengintegrasikan program antara lembaga mitra dan pemerintah Provinsi NTT agar termuat dalam Rencana Kerja Tahunan mitra yang berisikan fokus program, penganggaran dan keluaran yang akan dicapai;
Keempat, menggunakan indikator praktik cerdas sebagai panduan dan pengukuran hasil kerja baik lembaga mitra maupun pemerintah. Kelima, menjadikan rincian kerja pada sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur dan lingkungan, reformasi birokrasi dan pemberdayaan sebagai bahan usulan dalam penyusunan rencana kerja tahunan (RKT) lembaga mitra dan pemerintah tahun 2015 dan 2016.
Terakhir, SPADU – KPLI akan memfasilitasi pertemuan berkala dan pembentukan SPADU di tingkat kabupaten.
Dalam Rakor tersebut Gubernur NTT Drs Frans Lebu Raya menyatakan sinergi program dan pelaku program yang baik sangat diperlukan untuk membangun masyarakat di NTT. “Saat ini pemerintah telah mengubah kebijakan dari berbasis kabupaten menjadi kebijakan program yang lebih berbasis pada desa/kelurahan,” kata Frans.
Dia menyampaikan data pada 2013 yang menunjukan bahwa intervensi program lembaga-lembaga internasional di NTT hanya menjangkau 50-an desa dari 3.252 desa/kelurahan di provinsi ini. Karena itu muncul pertanyaan apakah saat intervensi memang tidak terdaftar atau belum melapor.
“Untuk itu mulai saat ini perlu koordinasi dan komunikasi mulai dari tingkat pemerintah desa sampai provinsi dan di semua stakeholder,” ujarnya.
Frans melanjutkan begitu banyak dana dan tenaga serta perhatian yang telah diberikan untuk masyarakat terutama kelompok sasaran namun belum memberikan perubahan berarti. “Terkesan setelah program selesai masyarakat juga kembali kepada kondisi semula,” tambahnya.
“Untuk itu memang sangat dibutuhkan keseriusan, ketabahan dan keberlanjutan,” tegasnya.
Tentunya komunikasi dan integrasi yang dibangun terus menerus secara berkala akan meningkatkan kualitas program pembangunan di NTT. [Yansen Meko, Petugas Lapangan Rantai Beras VECO Indonesia di Flores, NTT]