Melalui pemasaran bersama, petani kopi di Ngada, Nusa Tenggara Timur bisa mendapatkan kualitas produk dan harga yang lebih baik.
Sejak 2008 strategi program VECO Indonesia bersama mitra fokus pada pengembangan rantai pertanian berkelanjutan. Fokus di Flores ada tiga yaitu rantai kopi di wilayah Manggarai, Ngada dan Ende, rantai padi di Mbay, Nagekeo dan rantai kakao di wilayah Ende, Sikka dan Flores Timur.
Selain peningkatan produksi, fokus program adalah pascapanen dan pemasaran. Hal ini karena rendahnya kualitas produk berdampak pada rendahnya harga yang diterima petani. Tak sebanding dengan biaya dan pengorbanan petani. Petani juga menjual komoditasnya secara sendiri-sendiri dengan volume kecil.
Strategi ini sudah mulai dicoba sejak 2011. Namun untuk mengubah kebiasaan lama memang membutuhkan waktu dan strategi. Usaha ini sering dilakukan oleh organisasi petani (OP) mitra VECO Indonesia bekerja sama dengan mitra LSM sebagai konsultannya. Strategi ini dilakukan agar para petani bisa berdaulat atas komoditas yang dimiliki dan mereka bisa mendapatkan harga layak.
Melalui pemasaran bersama petani akan memiliki posisi untuk menentukan harga komoditasnya. Petani juga tidak dipandang sebelah mata oleh pedagang.
Hasilnya terlihat pada 2014 ketika petani anggota mulai bergabung dan melakukan pemasaran kopi bersama. Kopi yang dipasarkan bukan kopi asalan tetapi kopi bermutu yang sudah melalui proses pascapanen dengan baik.
Hasil kerja keras Perkumpulan Masyarakat Watuata (Permata) Ngada tahun ini adalah adanya penjualan kopi secara bersama-sama ke eksportir kopi PT. Indokom. Selama ini Permata bekerja sama dengan unit pengolahan hasil (UPH) kopi dampingan Dinas Pertanian Perkebunan dan Perikanan Ngada sejak 2005.
Sampai 10 Juli 2014 Permata melalui UPH-UPH yang dimiliki telah memproduksi kopi berkualitas sesuai standar yang diminta eksportir. Mereka mampu menjual kopi dalam bentuk kulit tanduk (HS) basah sebanyak 18.644 liter atau setara 5,179 ton kopi Ose (kopi beras).
UPH basis Permata ada 13 namun yang sudah beroperasi pada tahun ini baru 9. Mereka tersebar di dua kecamatan yaitu Bajawa dan Golewa Kabupaten Ngada.
Harga kopi yang diterima oleh Permata cukup tinggi yaitu Rp 11.750 per liter. 1 liter dihasilkan dari 1,6 – 2 kg gelondong merah. Berdasarkan analisis margin maka harga tersebut sudah memberikan keuntungan bagi Permata dan petani anggota sebesar Rp 3. 750 per liter.
Proses pengumpulan kopi yang dilakukan mulai dari anggota hingga eksportir.
Anggota kelompok mengola kopinya di tingkat rumah tangga. Pengurus mengontrol mutu agar sesuai standar. Kopi kemudian dikumpulkan ke tingkat kelompok pada hari pengangkutan oleh PT. Indokom. UPH membeli kopi dari luar anggota kelompok dan diproses oleh kelompok secara bersama-sama.
Untuk membedakan kopi dari masing-masing petani dan kelompok maka setiap karung ditulis kode dan inisial petani. Tujuannya agar apabila ada anggota nakal dan kopinya tidak memenuhi standar maka dapat dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Berdasarkan pengalaman selama 1 bulan melakukan pemasaran bersama ada beberapa kesan yang diberikan oleh berbagai pihak. “Ternyata petani dan kelompok basis Permata bisa menghasilkan kopi yang mutunya sangat bagus dan bersaing dengan UPH basis dinas yang sudah beroperasi selama hamper 9 tahun,” kata Kabid Perkebunan Kabupaten Ngada.
“Wah kalau kerjanya gampang begini terus menghasilkan harga yang baik kenapa tidak dari dulu dan kenapa mereka yang lain tidak mau ikut?” kata salah satu anggota Permata.
Pengalaman ini diharapkan bisa menggugah petani lain untuk bisa bergabung dan menjual kopi bermutu secara bersama-sama. Dengan demikian, mimpi petani berdaulat atas komoditasnya bisa tercapai. [Fransiska Rengo, Petugas Lapangan Rantai Kopi di Flores]