Pertanian Berkelanjutan untuk Keragaman Hayati

Pertanian Berkelanjutan untuk Keragaman Hayati

03/06/2013

Pertanian berkelanjutan juga mengembalikan keragaman hayati.

Selain berdampak pada peningkatan taraf hidup petani kecil, pertanian berkelanjutan juga mengembalikan keragaman hayati. Perubahan ke arah produksi padi dengan metode pertanian berkelanjutan, misalnya System of Rice Intensification (SRI) dan Integrated Pest Management (IPM) sering kali berdampak pada pemulihan fauna, seperti serangga, amfibi, dan ikan-ikan di ekosistem sekitarnya.

Perwakilan Regional VECO Indonesa Rogier Eijkens menyatakan hal tersebut ketika menjadi salah satu pembicara dalam Konferensi Keragaman Hayati di Trondheim, Norwegia pada 27-31 Mei 2013.

Menurut Rogier, Indonesia adalah negara besar dengan potensi produksi pertanian yang juga besar. Meskipun memiliki banyak masalah lingkungan akibat pertanian tak ramah lingkungan, kini Indonesia sedang bergerak menuju praktik pertanian yang lebih ramah lingkungan meskipun dalam skala kecil.

Menariknya, sektor swasta memainkan peranan penting untuk mengenalkan standar dan praktik pertanian berkelanjutan tersebut kepada petani. Rogier memberikan contoh pada produk padi, makanan pokok orang Indonesia. Saat ini mulai muncul kesadaran di kalangan konsumen perkotaan tentang perlunya pangan sehat dan aman.

Hal ini berdampak pada munculnya peluang-peluang baru untuk mengubah praktik pertanian konvensional ke arah pertanian yang ramah lingkungan.

Saat ini, petani-petani Indonesia melalui organisasi petani juga mulai bekerja sama secara langsung dengan pihak swasta. Muncul potensi besar untuk mengembangkan model bisnis dan penerapan lebih luas dengan dukungan atau bekerja sama dengan perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pemerintah.

Praktik pertanian berkelanjutan yang terkait pula dengan praktik keragaman hayati sekaligus saling menguntungkan antara perusahaan dan petani. Taraf hidup petani kecil pun meningkat.

Agar bisa menerapkan praktik pertanian berkelanjutan tersebut, perlu ada dukungan dari lembaga sertifikasi, seperti Rainforest Alliance, UTZ Certified, Organic, ataupun lembaga sertifikasi lokal.

“Peningkatan standar dengan memasukkan kriteria keberlanjutan dan keragaman hayati merupakan hal penting,” kata Rogier.

Namun, di saat rantai suplai dan sistem distribusi sudah berjalan dengan baik dan konsumen di kota-kota besar dengan mudah mendapatkan produk impor, petani-petani kecil justru menghadapi banyak masalah untuk menjual produknya. Hal ini terutama terjadi di sistem pemasaran negara-negara Selatan.

Menariknya, penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan, tak termasuk sertifikasi, untuk budi daya tak berdampak pada peningkatan biaya produksi, tak sampai 15 persen.

Karena itulah, menurut Rogier, jika petani ingin agar bisa terus memberi makan kepada dunia, maka mereka harus bisa memenuhi kebutuhan pasar modern dan permintaan konsumen. Sangat mungkin menyertakan prinsip-prinsip keberlanjutan, termasuk keragaman hayati, dalam pola produksi pertanian berkelanjutan untuk mendukung proses perubahan tersebut.