Petani Harus Berdaptasi terhadap Perubahan Iklim

Petani Harus Berdaptasi terhadap Perubahan Iklim

04/07/2014

Hujan seharusnya menjadi berkah bagi petani. Tapi tidak bagi I Wayan Asih.

Curah hujan yang terlalu banyak justru merusak sekitar cabai di 10 are lahan milik petani di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali tersebut.

“Biasanya Juli begini sudah tidak ada hujan. Tapi sekarang masih sering turun sehingga merusak cabai saya,” katanya. Pekan lalu, Asih menunjukkan kerusakan cabainya yang baru berumur sekitar dua minggu. Mereka dipenuhi bintik-bintik putih. Asih mengaku tak tahu nama hamanya tapi, menurutnya, hama itu membuat cabai lebih lambat tumbuh.

“Biji cabai pada umur panen juga lebih kecil,” katanya.

I Kadek Suparta, petani lain di Desa Rendang juga menuturkan hal serupa. Menurut Suparta rusaknya cabai di lahan mereka terjadi akibat perubahan cuaca saat ini. Meskipun tidak sampai rugi, pendapatan mereka dari cabai pasti menurun karena buruknya kualitas cabai yang dipanen.

Kondisi yang dialami Asih dan Suparta tersebut sudah diprediksikan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan JICA. Adi Ripaldi dari BMKG Mataram yang pernah meneliti tentang dampak perubahan iklim terhadap pertanian mengatakan, Karangasem memang termasuk wilayah paling rentan terhadap perubahan iklim.

Adi menyampaikan hal tersebut dalam diskusi Knowledge Cafe yang diadakan VECO Indonesia di Desa Rendang. Sesi belajar bagi staf VECO Indonesia ini menghadirkan Adi Ripaldi dan Imam Suharto, mantan Manajer Program VECO Indonesia yang terlibat dalam penelitian serupa.

Mengutip data BMKG dan JICA, Adi yang juga alumni S2 Sains Atmosfer Institut Teknologi Bandung ini mengatakan wilayah di Bali yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah seluruh wilayah Kabupaten Karangasem serta sebagian wilayah Tabanan dan Bangli.

“Kabupaten Karangasem memiliki tingkat kerentanan paling tinggi karena daerah tersebut memiliki tingkat eksposur tinggi namun kapasitas adaptasinya rendah,” kata Adi.

Tingkat eksposur secara sederhana adalah tingkat kesesuaian cuaca setempat terhadap perubahan iklim. Makin tinggi angkanya berarti makin rentan. Adapun kapasitas adaptasi adalah kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Agar petani mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, menurut Adi, perlu ada sekolah lapangan pertanian khusus tentang perubahan iklim dan pertanian. Sekolah lapang seperti ini sudah dilaksanakan di beberapa lokasi seperti Indramayu, Jawa Barat dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Sekolah lapang perubahan iklim ini bertujuan agar petani lebih memahami iklim setempat, ekosistem, serta cara tanam agar komoditas lebih tahan terhadap perubahan cuaca. “Jika petani tidak belajar beradaptasi terhadap perubahan iklim, maka sumber pangan kita akan terancam,” ujar Adi.