Pengusaha ritel siap menampung produk lokal, termasuk dari produsen kecil. Apalagi pemerintah sudah menetapkan bahwa 80 persen pasokan merupakan produk lokal.
Satria Hamid, Wakil Sekretaris Jendral Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), menyampaikan hal tersebut dalam diskusi terfokus (FGD) yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dengan dukungan VECO Indonesia. Diskusi diadakan di Hotel Harris Tebet, Jakarta pada Rabu lalu.
Selain dari APRINDO, narasumber lain adalah M. Hudi mewakili Deputi Menteri Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Diskusi ini dihadiri semua pemangku kepentingan terkait perdagangan di sektor ritel. Dari peritel yang hadir adalah Carrefour, Lotte Mart, dan Indomaret. Pemerintah diwakili staf Kemenko Ekonomi dan Kementrian Koperasi dan UKM. Juga hadir wakil dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Beberapa konsumen juga hadir dalam diskusi ini.
Menurut Satria, meskipun siap menerima produk lokal, kelancaran hubungan antara peritel dan pemasok menghadapi tantangan lain. “Tantangannya adalah biaya logistik. Salah satunya retribusi yang tinggi sering memberikan beban tersendiri bagi pemasok (ketika mengirim pasokan ke ritel atau pasar induk),” kata Satria.
Belum lagi infrastruktur yang buruk memperlambat pergerakan pasokan dari satu tempat ke tempat lain. Akibatnya, produk lokal kalah dibanding produk impor. Contoh paling nyata adalah jeruk Medan kalah bertarung dengan jeruk yang didatangkan dari Tiongkok di pasar domestik.
Tantangan yang lain adalah perkara kontinuitas. Anggota APRINDO sudah banyak bekerja sama dengan pemasok skala menengah dan kecil. Keluhan utama yang muncul dari peritel adalah pada saat-saat awal pasokan lancar namun mulai tersendat pada periode selanjutnya.
Sementara itu, Loji dari Aliansi Petani Indonesia (API) memaparkan salah satu tantangan yang dihadapi oleh petani produsen kecil adalah kurun waktu pembayaran dari pembeli swasta terlalu lama, berkisar 14 hari sampai tiga bulan. “Petani menginginkan metoda pembayaran secara 'cash and carry' untuk menjamin kelancaran arus kas mereka,” kata Loji.
Satria Hamid langsung menanggapi paparan dari Loji dengan mengatakan bahwa tidak mungkin ritel melakukan pembayaran seperti diinginkan oleh petani produsen. Ada alasan sangat teknis yang membuat peritel perlu waktu. Jenis produk yang dijual oleh peritel ada ribuan. Bahkan, untuk ritel besar jumlah jenis produk yang dijual bisa lebih dari 60 ribu.
“Melakukan pembayaran pada hari itu juga pada para pemasok menjadi mustahil,” ujar Satria.
Namun demikian, peritel tidak menutup mata atas kesulitan yang dihadapi para pemasok kecil dan menengah. Sudah ada peritel anggota APRINDO menjalin kerja sama dengan perbankan nasional untuk mempersingkat kurun waktu pembayaran. [Purnama Adil Marata, Advocacy Officer VECO Indonesia]